Di Yogyakarta ada sebuah kampung yang bernama
Blunyah. Nama kampung ini berhubungan erat dengan kampung lain di Yogyakarta
yaitu Kidul Loji.
Cerita menurut penduduk sekitarnya
bahwa zaman dahulu ada sepasang
suami istri Tionghoa yang kaya raya. Mereka
tinggal di sebelah timur Kantor Pos Besar. Karena tinggal di kampung tersebut,
suaminya sering dipanggil Babah Kidul Loji. Suami istri Tionghoa itu memiliki
seorang gadis yang sangat cantik. Selain cantik, dia sangat santun dan bertutur
halus. Dalam pergaulan, dia selalu rendah hati sehingga banyak yang
menyukainya. Sayangnya, dia terus-menerus dirundung sakit dan penyakit yang dideritanya
tidak jelas. Nama gadis itu Nonik.
Orang
tuanya sedih sekali dan berusaha keras mencari tabib maupun dukun untuk mengobati
penyakit Nonik, namun usaha itu sia-sia. Babah Kidul Loji memiliki beberapa
pembantu rumah. Walaupun sudah diperlakukan dengan baik, mereka tidak betah
tinggal di rumah Babah Kidul Loji karena takut terkena penyakit Nonik. Ini
menambah kesedihan Babah dan istrinya. Namun, di antara para pembantu yang
kurang setia itu ada seorang pembantu yang setia, namanya
Sarijan.
Melihat
penyakit yang diderita Nonik dan kesedihan selalu menghias di wajah orang
tuanya Nonik, Sarijan tergerak untuk menolongnya. Akan tetapi, ia tidak tahu
bagaimana caranya. Ia hanya berusaha mencari tabib atau dukun yang hebat
sehingga bisa menyembuhkan Nonik tapi hasilnya nihil. Sarijan diam-diam
berpuasa selama 3 hari 3 malam berturut-turut. Karena tubuh Sarijan kuat,
puasanya tidak berpengaruh pada daya kerjanya. Usaha ini belum juga membawa hasil.
Dia
melanjutkan dengan berpantang berikutnya. Pantangan kali ini hanya memakan
jenis ubi-ubian, selain
itu, dia juga menjalani nganyep dan neles, yaitu setiap malam tidur di tempat
yang basah.
Pada
suatu malam, Sarijan bermimpi bertemu dengan kakek berjenggot putih. Kakek itu
berpesan bahwa Nonik akan sembuh bila dibawa ke Pantai Selatan dan mandi air
laut. Setelah berpesan, kakek itu lalu menghilang, dan pada saat itu Sarijan terbangun.
Pagi
hari itu, Sarijan menemui Babah Kidul Loji dan menyampaikan impiannya. Babah
tidak segera menanggapinya karena ratusan tabib belum ada yang berhasil
menyembuhkan Nonik.
“Maaf
Sarijan, aku tidak percaya. Bagaimana mungkin Nonik dibawa ke Pantai Selatan
dalam keadaan sakit begitu?” tanya lagi Babah. “Sebaiknya dicoba dulu, siapa tahu memang manjur” ujar Nyah Kidul Loji. “Hati-hati, Nonik
itu lemas. Bagaimana dibawa ke sana?” kata Babah. Suami istri itu berdebat
dengan seru. Akhirnya Babah Kidul Loji bersedia menerima usulnya. Setelah
dibawa ke Pantai Selatan, Nonik pun dimandikan dengan air laut. Sungguh luar
biasa, Nonik telah sembuh dan orang
tuanya amat bahagia. Pada suatu sore, mereka segera memanggil Sarijan.
“Kamu
mau diberi hadiah uang, agar kamu membangun rumahmu yang reyot itu. Mau?” tanya
Babah. “Mau sekali.” “Tapi jangan digunakan untuk berjudi.” Kata Nyah. “Tidak,
saya berjanji. Lagipula, saya tidak suka berjudi...” ujar Sarijan.
Setelah
itu, Babah memberinya beberapa ratus dinar. Selain itu, Sarijan diberi
kesempatan liburan 2 minggu guna membangun rumahnya. Sarijan sangat bersuka
cita.
Dua
minggu yang berlau, Nyah Kidul Loji bertanya tentang persiapan pembangunan
rumah, misalnya mencari tukang kayu dan tukang batu. “Belum, Nyah,” jawab
Sarijan. “Mengapa belum?” “Mungkin minggu depan,” balas Sarijan. Setelah 1
minggu lewat, Nyah Kidul loji bertanya lagi, “Sudah mulai dibangun rumahmu,
Jan?” “Belum, Nyah.” Bahkan beberapa bulan telah berlalu, jawaban Sarijan
selalu sama, “Belum Nyah, Belum Nyah, Belum Nyah...”
Akhirnya,
Nyah Kidul Loji jengkel. Ia diam-diam mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Yang dilihatnya ternyata rumah Sarijan memang masih reyot. “Kamu buang ke mana
uangmu yang banyak? Kamu berjudi ya!” bentak Nyah Kidul Loji.
“Tidak
Nyah, uang itu aku gunakan untuk membuat bendungan air di sana. Agar bendungan itu
bisa untuk mengairi sawah saudara-saudara saya di desa. Maaf, Nyah...!” jawab
Sarijan dengan ketakutan.
Mendengar
jawaban itu, Babah Kidul Loji dan istrinya sangat terharu. Setelah Nonik
sembuh, suasana rumah pun semakin penuh dengan kegembiraan dan suka cita. Karena setiap Sarijan ditanya selalu menjawab
“Belum Nyah, Belum Nyah, Belum Nyah,” lama-kelamaan bunyinya berubah menjadi
Blunyah, dan dipakai sebagai nama desa sampai sekarang.
sejarah yang mulai terlupakan...tulisan yang sangat menarik! ditunggu karya-karya selanjutnya...
BalasHapus